Wednesday, March 24, 2010

Nilai-Nilai Edukasi Dalam Puisi Jalaluddin Rumi

Fanatisme cinta berbeda dengan agama lain
Fanatisme cinta adalah terhadap Yang Maha Cinta
Tujuan pecinta bukan seperti tujuan lain
Cinta adalah kompas langit menuju misteri Tuhan
—Jalaluddin Rumi—

Banyak yang menganggap sumbangan terbesar Jalaluddin Rumi pada agama adalah aliran sufi Mawlawiyah dan tarian berputar seperti gasing (raqs sama’). Sesungguhnya, aliran Rumi jauh lebih agung dari itu semua. Sumbangan terbesar Rumi  terhadap Islam dan agama bukan terletak pada Tarekat Mawlawi, tarian raqs sama’, ataupun dzikir dengan diiringi musik (sama’). Bahkan, Rumi tidak pernah mengkotakkan cara beragama dalam tarekat tertentu. Baginya, kita tak membutuhkan ashabiyah (fanatisme kelompok), karena agama seluas cinta, dan hanya agamalah yang dapat membawa kita kepada Tuhan.

Mengenal Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi lahir di Balkh, Afganistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi adalah karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai Rum (Roma)—Rumi adalah panggilan untuk orang Romawi.

Ayah Jalaluddin Rumi bernama Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, seorang ulama besar bermazhab Hanafi. Karena kharismanya yang tinggi dan penguasaan agamanya yang berlebih, maka ia mendapat gelar “Sulthanul Ulama.” Namun, karena gelar itu, sebagian besar ulama iri kepadanya. Banyak yang menfitnah dirinya. Celakanya, penguasa pada saat itu terpengaruh oleh hasutan masyarakat. Akhirnya, Bahauddin dan keluarganya diusir dari Balkh, ketika usia Rumi baru lima tahun.

Sejak pengusiran itu, Bahauddin bersama dengan keluarganya selalu berpindah-pindah tempat. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran Timur laut). Dari Sinabur berpindah ke Bagdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran Tenggara) dan terakhir tinggal di Konya (Turki). Di Konya, Bahauddin mulai mendapat tempat dan sambutan yang layak. Oleh Raja Konya, Alauddin Kaiqubad, ayah Rumi diangkat menjadi penasehatnya. Alauddin Kaiqubad mengangkatnya sebagai seorang pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di kota tersebut.

Dalam perjalan hidup Bahauddin yang nomaden tersebut, ia bertemu dengan Fariduddin Atthar, salah seorang ulama dan tokoh sufi. Ia meramal Rumi, yang ketika itu berusia lima tahun, kelak akan menjadi seorang tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, bahwa ramalan Fariduddin tidaklah meleset.

Rumi banyak mendapat pelajaran dari ayahnya. Selain berguru pada sang ayah, Rumi juga berguru kepada Bahauddin Muhaqqiq at-Thurmudzi, sahabat sekaligus pemimpin pengganti ayahnya di perguruan agama. Atas saran gurunya, Rumi menimba ilmu di Syam (Suriah). Beliau baru pulang ke Konya pada tahun 634 H, dan ikut mengajar di perguruan agama tersebut. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau mulai usia 48 tahun, usia yang cukup tua untuk pencapaian tersebut. Sebelumnya, Rumi adalah ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid sebanyak 4000 orang.

Sebagaimana layaknya seorang ulama, beliau adalah orang yang selalu memberi fatwa kepada masyarakat yang bertanya dan mengadu kepadanya. Kehidupannya dari seorang ulama berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia bertemu dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari Kota Tabriz.

Pertemuan dengan Tabrizi

Ajaran Mawlana Rumi yang universal dan menembus batas-batas golongan ini adalah sebuah perlawanan terhadap semangat untuk menjadikan agama sebagai pembenaran terhadap penaklukan fanatisme golongan. Rumi ingin melawan keinginan para penguasa kekhalifahan Turki yang ingin melakukan ekspansi besar-besaran, demi terbentuknya kembali kerajaan besar setelah Bizantium musnah di negeri itu. Lewat tafsir cintanya, Rumi seakan menolak penggunaan agama sebagai alat untuk mengobarkan perang.

Ajaran Rumi tentang cinta dipengaruhi oleh pertemuannya dengan Syamsuddin Tabrizi, sang darwisy yang berkeliling Timur Tengah mencari “formula” yang tepat untuk menjadi insan kamil atau insan sempurna. Dialog antara Syamsuddin dengan Rumi layaknya dialog antara Khidir dengan Musa, ketika mengajarkan cinta. Pertemuan itu kemudian beliau tulis dalam sebuah kitab yang bernama Matsnawi, perjalanan Musa dan Khidir pun mendapat porsi besar dalam buku ini, terutama di bagian penutup. Kisah yang terangkum dalam Surat Kahfi itu memang banyak menarik perhatian para sufi. Kisah penuh misteri, yang mengajarkan orang untuk melihat kejadian bukan hanya pada apa yang tampak di depan mata.

Namun, pertemuan dengan Tabrizi tak berjalan lama, bahkan hanya sekejab saja, setelah semalaman berdiskusi dengannya. Paginya ditemukanlah Tabrizi tewas. Karena kecintaannnya kepada Tabrizi, maka ia membuat puisi untuk Tabrizi yang kemudian terkenal dengan ‘Diwan Syamsy Tabrizi’

Kenapa aku harus mencari?
Aku sama denganya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang ku cari adalah diriku sendiri

Inilah sepenggal puisi yang didedikasikan untuk Tabrizi, sang sahabat yang selalu mengilhami dan mengajarinya tentang indahnya cinta. Sepuluh tahun setelah peristiwa tewasnya Tabrizi, Rumi mulai untuk membuat puisi bernuansa ghazal (cinta), yang kemudian terkumpul rapi dalam Diwan al-Akbar (Diwan Agung). Kehilangan Tabrizi merupakan kehilangan yang sangat besar, bahkan Rumi menggambarkannya seperti kehidupan kehilangan mentari.
Kehilangan Tabrizi merupakan pukulan berat baginya, tetapi tak lama kemudian ia mendapat sosok sahabat baru yang telah mampu menggugah kesedihannya dan menggantikan posisi Tabrizi di sampingnya. Ialah Shalahudin.

Mengenal Hakikat Cinta Ilahi

Dalam bahasa Indonesia, kata cinta berarti “suka sekali”, “sayang benar”, “kasih sekali”, “terpikat”, “ingin sekali”, “berharap sekali atau susah” (khawatir). Menurut al-Qusyairi, kata cinta berarti: (1) nama bagi jenis cinta yang paling murni dan rasa kasih sayang; (2) Hubbah, adalah gelembung-gelembung yang terbentuk dari permukaan air ketika hujan besar, jadi cinta adalah penggelembungannya hati ketika ia haus dan berputus asa untuk bertemu dengan kekasihnya; (3) cinta disebut cinta karena orang mengatakan ahabba untuk mengambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit lagi. Dengan demikian, sang pecinta tidak akan menggerakkan hatinya menjauh dari mengingat kekasihnya.

Dalam tasawuf, cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Allah. Ini adalah cinta tertinggi. Cinta yang meliputi ilham, pancaran dan luapan-luapan hati, cinta dengan segala perasaan dan keberadaannya. Menurut Rumi, akal yang berusaha menjelaskan cinta itu sama halnya dengan keledai yang tidak punya daya, dan pena yang berusaha menggambarkan akan hancur berkeping-keping.

Cinta tidak dapat didefinisikan, dan hanya dapat dirasakan. Sedang menurut Ibnu Arabi, orang yang mendefinisikan cinta berarti tidak tahu tentang cinta, orang yang merasakan alirannya berarti ia tidak mengenalnya, dan orang yang mengatakan puas dengan cinta berarti ia tidak mengerti cinta, karena cinta adalah minum tetapi tidak pernah merasa puas.

Ajaran tasawuf berakar dari ajaran Islam tentang Ihsan. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf tidak terlepas dari moralitas. Meskipun ajaran yang dimunculkan oleh para sufi berbeda-beda, tetapi ada satu asas yang tidak dapat diperselisihkan, yaitu bahwa  tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam.

Moral yang dimaksud adalah moral yang baik. Dan manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk berpihak pada yang baik. Moral (akhlak) sebenarnya merupakan oriental utama agama, sehingga ada yang menyebutkan bahwa agama adalah moral. Moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara dia dengan dirinya sendiri, antara dia dengan keluarganya dan antara dia dengan masyarakat.

Tasawuf dan Cinta

Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan
Buku-buku dan lembaran-lembaran halaman.
Apa pun yang orang bicarakan itu—
Bukanlah jalan para pecinta
Apa pun yang engkau katakan atau dengar adalah kulitnya:
Intisari cinta adalah misteri yang tak dapat dibukakan.

Itulah sepenggal bait puisi Rumi, pujangga sufi yang paling terkenal dengan tema cinta dalam berbagai puisinya. Namun, banyak kalangan yang menyalahartikan arti cinta Rumi. Ada yang memposisikan puisi cintanya sebagai puisi cinta profan. Ada pula yang mengetahui bahwa puisi cinta itu ditujukan untuk Allah swt. Namun, tetap bahwa puisi cinta yang dicipta oleh Rumi bisa dianggap beda oleh para pembaca. Karena setiap pembaca mempunyai proses pencapaian cinta yang berbeda.

Gambaran cinta yang diungkap oleh Rumi adalah gambaran cinta pada umumnya. Maksudnya adalah ketika kita terlahir menjadi seorang bayi, maka bayi itu akan mengenal cinta dari orangtuanya. Kemudian bayi tersebut tumbuh menjadi besar. Dia pun mengenal cinta yang lainnya, misalkan cinta kepada sanak saudaranya. Tumbuh besar lagi, muncul yang namanya cinta dengan lawan jenis. Ia pun mengalami sebentuk cinta baru. Sampai pada satu titik tertentu, ia memutuskan untuk menikah. Maka cinta yang tumbuh dalam sebuah perkawinan akan beda dengan cinta yang tumbuh pada masa pacaran.

Bagaimana pun, cinta pada masa pertama perkawinan adalah sebuah cinta dengan unsur-unsur hasrat material (syahwat), misalnya cinta karena kecantikan atau ketampanan bahkan cinta pada keturunan atau keningratan seseorang. Dari proses perkawinan, kemudian lahirnya keturunan dari buah cinta mereka. Maka pasangan tersebut kembali mengenal sebuah cinta yang baru, cinta kepada darah dagingnya sendiri.

------

Dalam perjalan waktu, unsur-unsur yang membangkitkan hasrat material antara pasangan tersebut mulai menyusut. Pada saat itulah, dari kedua pasangan tersebut yang tersisa adalah kenangan-kenangan akan kebersamaan yang akan menghasilkan sebentuk cinta murni. Cinta yang tumbuh dari kesetiaan, perhatian dan kasih sayang, kesabaran serta ketabahan pasangan dalam menjalani segala permasalahan yang datang dalam kehidupan  mereka bersama. Cinta yang murni seperti itulah yang akan membantu seseorang dalam mengidentifikasi cinta kepada Tuhan.

Di sisi lain, cinta tanpa unsur-unsur hasrat material tersebut yang dapat membantu pencapaian cinta murni adalah cinta yang pertama kali dibangun melalui persahabatan dengan sesama jenis. Seperti persahabatan antara Rumi dengan Tabrizi, atau antara Socrates dengan Plato.

Cinta dan keindahan itu yang membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat yang lain. Sejumlah tarekat saat ini lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan paham tauhid baru. Penyatuan diri dengan Tuhan (Wihdatul Wujud) yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih oleh Rumi.

Pencapaian Cinta Ilahi

Jalan cinta yang dilakukan oleh Rumi pada dasarnya sama dengan tujuan ibadah para sufi lainnya, yaitu untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Guna mencapai kedekatan dengan Tuhan, para sufi harus menempuh jalan (thariqah) yang panjang dan penuh dengan duri dan berisi stasiun-stasiun (maqamat). Maqamat yang dimaksud adalah berupa peribadatan. Di samping istilah maqamat, dalam literatur tasawuf yang lain digunakan istilah hal. Hal  merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih, senang, takut dan sebagainya. Maqam diperoleh atas usaha manusia, sedangkan hal didapatkan sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Hal  bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.

Untuk mencapai puncak maqamat, maka jalan yang harus dilalui adalah dengan, taubat, zuhud, sabar, syukur, wara’ dan ridla. Urutan ini bukanlah urutan yang pasti, memang tak ada petunjuk dalam dunia tasawuf dalam menjalani rangkaian tersebut, mana yang lebih dahulu atau mana yang terakhir. Tetapi, dalam ajaran tasawuf, taubat  menduduki maqam  pertama, karena dosa itu dinding antara manusia dengan Tuhan. Orang yang mencari keridlaan Allah dan menuntut bimbingan harus bertaubat terlebih dahulu.

Zuhud  merupakan maqam terpenting bagi seorang calon sufi, seorang calon sufi haris menjadi seorang  zahid terlebih dahulu. Seorang sufi haruslah mampu mengalami kehidupan zuhud, yaitu menghindari kemewahan dunia dan hidup kematerian. Banyak pendapat berbeda mengenai zuhud, tetapi pada dasarnya zuhud diartikan sebagai tanggapan terhadap kemewahan dunia yang cenderung mengganggu manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Sabar  merupakan amalan atau sifat yang harus dimiliki oleh seorang sufi. Menurut Qusyairi, sabar ada dua macam: pertama, sabar terhadap apa yang diperoleh si hamba dengan upaya (melalui amal-amalnya). Sabar dalam hal ini ada dua, yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan Allah.
Kedua, sabar terhadap apa yang diperoleh tanpa upaya, yaitu sabar dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaan baginya. Dari kedua definisi sabar tersebut masih banyak definisi sabar yang diutarakan oleh para ahli, tetapi pada dasarnya semuanya sama karena sabar merupakan hal penting dan wajib dimiliki oleh seorang muslim jika ingin mendekatkan diri dengan Tuhannya.

Syukur  merupakan amalan yang saling melengkapi bagi sabar, yang sama menunjukkan sikap terhadap anugerah-anugerah Tuhan. Hakikat syukur adalah pengakuan akan anugerah dari sang Pemberi dengan sikap penuh kepasrahan.
Wara’ mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik dan dalam pengertian sufi adalah  meninggalkan segala sesuatu yang subhat (meragukan). Sedangkan, ridla adalah perasaan ikhlas, takut dan harap yang besar terhadap Allah atas semua apa yang telah kita kerjakan. “Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya” (Q.s. al-Bayyinah: 8).

Begitulah prosesi jalan cinta yang ditempuh oleh Rumi. Selain, sebagai seorang hakim yang faham akan syari’at Rumi tidak hanya memuaskan dirinya dalam ritual yang kontroversial saja. Sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar (rebab) untuk mengiringi dzikir. Cara ini kemudian yang dikenal dengan Sama’  yang berarti mendengar. Dengan arti yang berbeda kemudian pesantren-pesantren di Jawa membudayakan dengan tradisi Sema’an.

Sama’: Warisan Agung Jalaluddin Rumi

Sama’  adalah sebuah tarian yang diikuti dengan suara biola atau alat-alat musik yang lainnya (yang sering digunakan adalah seruling yang terbuat dari kayu). Rumi mengatakan, bahwa tarian ini adalah sebuah bentuk dialog dengan Tuhan. Musik Sama’  ini merupakan bagian shalawat atas baginda Nabi Muhammad dan merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuannya.

Rumi mengatakan, musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama’ adalah adalah seperti elektron yang mengelilingi, intinya thawaf menuju sang pencipta. Semasa hidupnya tarian Sama’ sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama dengan para darwis selepas shalat Isya sering melakukan tarian tersebut. Tarian Sama’ ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet. Setelah Rumi wafat, maka tarian ini diperuntukkan sebagai peringatan kematian Rumi.

Tarian ini bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup seruling kayu, kemudian para penari mengenakan pakaian putih yang merupakan simbol kain kafan, dan jubah hitam sebagai penggambaran dari alam kubur, sedang topi panjang merah atau abu-abu adalah simbol dari batu nisan. Akhirnya, seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para darwis yang lain. Mereka kemudian membalas menghormati. Ketika Syaikh duduk di karpet merah menyala itu merupakan simbol matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi meninggal dunia.

Peniup seruling dan penabuh memulai musiknya maka para darwis akan memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakan simbolisasi  bagi tiga tahapan manusia menemi Tuhannya. Pada putaran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbolkan kuburan untuk mengalami ‘mati sebelum mati’ kelahiran kedua.

Ketika Syaikh mengijinkan para penari untuk menari, maka mereka akan memulai dengan gerakan perlahan seperti putaran thawaf  dan putaran-putaran planet yang mengelilingi matahari. Ketika tarian hampir usai, maka Syaikh akan berdiri dan alunan musik akan dipercepat. Proses ini berakhir dengan musik penutup dan pembacaan ayat suci al-Qur’an.

Akhir Hidup Jalaluddin Rumi

Semua manusia pasti akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan yang besar ketika mendengar Rumi sedang sakit. Meskipun Rumi sakit keras, tetapi pikirannya masih menunjukkan kejernihan.

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil oleh Allah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya, malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (malam penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Mawlawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

(Disalin dari hadlarah www.suara-muhammadiyah.com, edisi Nov 2009, tulisan : Ade Benih Nirwana, S.S, M.S.I) ________________________________________________
Penulis adalah Anggota Departemen Komunikasi dan Informasi PW Nasyi’atul ‘Aisyiyah DIY
Categories : NOV 2009 | SM 21-09