Tuesday, March 23, 2010

Suatu Pagi Di Kotabaru Jogjakarta, Dan Kisah Tentang Kepahlawanan


Hari itu, Senin Legi, 15 Syawwal 1430, atau 5 Oktober 2009, menjelang jam 09.00 pagi, sambil sarapan pagi di warung Soto Pak Soleh, pojok barat daya halaman parkir Stadion Kridosono, Kotabaru, bersama seorang teman, kami ngobrol ngalor-ngidul sekedar membuka kenangan masa muda ketika kami bersekolah di Jogja beberapa tahun silam.

Sembari menyantap hidangan, kami berbincang tentang situasi kota Jogja, terutama di kawasan Kotabaru ini, satu wilayah yang tidak terlalu luas, dekat Stasiun Sepur Lempuyangan, memiliki beberapa ruas jalan yang pusat temunya berupa jalan melingkar mengitari stadion.

Satu ruas jalan utamanya cukup lebar berkelok indah, turun dan naik melandai, yang menghubungkan jalan raya ke Solo dengan kawasan Malioboro. Melintasi dua jembatan, satu yang di bawah jembatan lawas dari beton, dan melintang di atas jembatan rel kereta besi, di antara dua tepian sungai, Kali Code, yang tidak terlalu deras mengalir di tengah lembah yang dalam dan lebar.

Lembah ini, yang sekarang tebing-tebingnya penuh sesak oleh penghuni, semasa hidup arsitek YB. Mangunwijaya, pernah menjadi sarana ekspresi jiwa seni yang sungguh fenomenal, dia tata daerah kumuh itu dengan aneka bangunan sederhana fungsional, terbuat dari batu dan bambu untuk rumah tinggal dan sarana sosial. Solusi yang cerdas dan manis ditengah lingkungan yang tragis.

Kontras dengan suasana Kotabaru, tempat hunian para borjuis dan eksklusif pada masa penjajahan Belanda dulu, indah nyaman suasananya, namun bukan karena ihwal ini yang menyebabkannya jadi pantas untuk dikenang dan dikunjungi, tapi lebih karena di sini menyimpan banyak catatan sejarah penting dari Kota Jogja yang sampai sekarang masih tampak terawat rapi, monumen sejarah Jogja modern (bukan zaman Mataram), sesuai namanya, Kotabaru.

Kami pernah mendengar berbagai cerita per-tetangga-an yang harmonis maupun ironis, tentang rumah-rumah kuno peninggalan pejabat Belanda, dentang lonceng dari atap Gereja, yang kadang bersautan dengan merdunya adzan dari Masjid Syuhada, yang dibangun berdekatan, dan dinamai demikian untuk mengenang para Syuhada Kotabaru. Masjid ini juga unik, karena punya kembaran arsitekturnya di Jakarta, di kompleks Yayasan Al azhar milik Almarhum Buya HAMKA. Di Masjid Syuhada ini pula, dulu kami sering Jum'atan, berdiskusi, dan mengaji dalam Kuliah Shubuh, Ramadhan dan Tiap Ahad pagi.

Catatan sejarah tentang keberanian, Sajaa'a...

Di ujung persimpangan jalan depan warung dekat kami duduk mencangkung, sudut mata kami terpaku pada satu papan jalan kecil, dimana tertera satu nama, Jl. Abu Bakar Ali, di dekatnya ada Jl. Faridan M. Noto, dua diantara beberapa nama jalan di daerah ini yang mengambil nama-nama dari para pejuang muda Jogja yang gugur dalam perjuangan membela negara, merebut kembali kawasan Kotabaru agar kembali utuh menjadi wilayah kedaulatan Negara Indonesia.

Saya jadi teringat ayahanda, almarhum Soedja'i Siswowardojo, Alhaj, pernah berkisah tentang nama-nama dan tempat-tempat bersejarah di kawasan ini. Walau tak tercatat dalam sejarah, almarhum ayah saya pernah memiliki sedikit peran, satu bagian kecil dari fragmen perjalanan sejarah panjang Kotabaru, bersama dengan beberapa tokoh yang tertera di papan-papan nama jalan itu, disamping tokoh-tokoh lain yang selamat, saat -saat pengorbanan mereka merebut Kotabaru dari para tentara pendudukan Jepang saat itu.

"Tentang nama-nama jalan itu..." Saya mulai bercerita pada sahabat yang duduk di bangku di hadapanku, Bambang P. Sutikno, "seandainya ayah saya dulu ikut meninggal disini, mungkin namanya akan abadi di salah satu ruas jalan ini" sambungku.

Kenapa bisa begitu? Ya, karena pada tahun sekitar 1945-an, ketika terjadi peristiwa perebutan atau pengalihan kekuasaan dari penjajah -bangsa Jepang- ke rakyat Indonesia, dimana saat itu pasukan Jepang, yang masih menguasai dan mendiami kawasan Kotabaru (yang dijadikan sebagai markas mereka setelah ditinggalkan oleh Belanda), maka tatkala Indonesia memutuskan merdeka dari penjajahan, pasukan Jepang di kota ini belum jua bersedia menyerahkan kekuasaan mereka.

Bangkitlah ghirah warga relawan pejuang Jogja, terutama para pemuda yang tergabung dalam pasukan Tentara Pelajar yang akhirnya menyerbu markas Jepang tersebut. Dan ayahanda, bersama teman-teman sekolah beliau dari Asrama putera Mu'allimin Muhammadiyah Jogjakarta, ikut serta dalam aksi tersebut. Dan saat itu, ayah saya masih berusia sekitar 13-15 tahun, termasuk paling kecil diantara kolega-kolega beliau.

Tak terbendung, anganku melambung terbawa suasana dan ritme perjalanan masa lalu ayahanda. Saya bayangkan, seandainya saat itu ayah saya ikut gugur disini, perjuangan dan kepahlawanannya akan tercatat abadi di jalan-jalan ini, yang mana mungkin akan menjadi satu kebanggaan tersendiri, demikian pikiran ini menyeruak dalam hati. Tapi, seandainya itu terjadi, tentu saja saat ini saya mungkin -tidak- sedang ada di kotabaru ini, disini, bahkan mungkin tidak juga terlahir ke dunia, karena ayah saya saat itu masih sangat muda, belum menikah apalagi punya putera.

.....

Angan-anganku kemudian melompat kembali, ke satu masa yang lebih kini, dimana masa pergolakan sudah usai, dan ayahanda bisa kembali ke bangku sekolahnya. Beliau seorang yang sangat cerdas, kuat ingatan, dan tekun belajarnya, serta teguh dalam ibadah. Jika saja kemudian, ayahanda tidak memutuskan kembali pulang ke Banjarnegara, memenuhi tanggungjawab sebagai anak lelaki tertua dari sembilan besaudara, untuk menemani ibunda beliau (nenek kami) yang tiba-tiba harus menjanda, karena kakek kami, Mohammad Sayidi, yang gagah berani dan serba bisa, seorang Lurah, pandai menjahit, berkarya seni kayu dan bertani, Ustadz dan pembimbing ummat di kampung Danakerta dan sekitar Punggelan, yang wafat akibat sakit mendadak di usia masih sangat muda, sekitar 40-an tahun. Beliau Syahid, karena meninggal keracunan, akibat dari, ketegasannya, dan sedang dalam perjuangannya menegakkan keadilan di antara rakyatnya.

Bagi ayahanda, kembali pulang ke kampung miskin terbelakang sungguh satu pilihan hidup yang berat dan menantang, tapi penuh kepahlawanan. Jika saat itu ayahanda meneruskan karir setelah sekolah beliau dan tetap di kota, menilik dari keteguhan, kecerdasan dan konsistennya beliau dalam jalan dakwah bersama Muhammadiyah, di Jogja mungkin juga ayah sudah menjadi tokoh Pusat yang penting dan berpengaruh.

Atau juga ketika beliau mendapatkan tawaran beasiswa untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, setelah lulus dari Sekolah Guru SGB Magelang, beliau terpaksa menolak kesempatan emas ini karena sang ibunda yang bersahaja dan hidup sengsara mencegahnya dengan satu kalimat, " Ya silakan, kalau kau ingin adik-adikmu hanya bisa hidup jadi pangon (gembala)..."

Tetapi kemudian kami tersadar dari angan-angan yang semakin liar, karena sandainya sejarah diputar ulang dengan sedikit saja perubahan pada beberapa simpul kisahnya, semua peristiwa bisa berubah sedemikian beda, dan kehidupan yang semacam ini tak kan ada.

Kami, dan anak-anak ayahanda, sebagai bagian lebih kecil dari simpul-simpul perjalanan sejarah ummat manusia, hanya bisa mencoba mengorek rahasia-rahasia nasib dan kearifan dari takdir ketentuan Keadilan Illahi, atas garis perjalanan satu individu maupun kelompok manusia, terutama di keluarga kami sendiri, anak cucu ayahanda tercinta.

Betapapun kami sadari, keberadaan seorang dalam perjalanan sejarah, walau tidak tercatat ataupun dikenal banyak orang, tetap punya makna dan keistimewaan tersendiri, dalam alur hidupnya sendiri, dan akan tergantung pada amal baik dan pengabdian yang dilakukannnya secara ikhlas, tulus serta sungguh-sungguh terhadap amanah dan kewajiban hidupnya, pada Sang Khaliq-nya.

Jiwa Syuhada dan Kepahlawanan beliau-beliau tidak akan pernah mati, benih-buah spiritual dari kebajikan para martir akan tumbuh menjadi tunas-tunas baru yang unggul dan pasti. Dan berkembang subur pada jiwa pewarisnya, menjadi kekuatan bagi siapapun yang mau menerima, mengenang dan meneladaninya...

Kerjakan apa yang menjadi tugas kemanusiaan kita sebaik-baiknya, dan Tuhan pun akan mengerjakan apa yang menjadi TugasNya lebih baik lagi...

(Farid Masjhudi, Raudha Center, Barackville, Selasa Pon 16 Maret 2010, 30 Maulid 1431.)