Wednesday, April 7, 2010

The Magic of Social Media Marketing Plus Infaq


Saya ingin mengajak anda untuk membicarakan tentang keajaiban dari sikap kedermawanan, suka memberi atau Infaq. Infaq adalah salah satu ajaran pokok -dan haq- dalam Islam, yang sangat banyak manfaat dan berkahnya. Tetapi saya ingin menqupas lebih pada kaitan antara Infaq dan manfaatnya dalam menggenjot pertumbuhan pemasaran bagi bisnis kita. Dalam konteks thema ini kami menyebutnya sebagai Social Media Marketing Plus Infaq. 

Sebelum kita melangkah untuk memulai atau mengembangkan lebih lanjut bagi pemasaran bisnis kita, entah apapun produk yang kita miliki, dan dimanapun kita ingin memasarkannya, saya ingin mengungkapkan fakta bahwa telah terjadi perubahan besar pada cara pandang orang terhadap tradisi pemasaran modern di dunia sekarang ini, terutama setelah berkembangnya teknologi internet, dan lebih khusus lagi setelah munculnya media-media komunitas sosial (Social Media) di dalamnya.

Kenapa dengan Social Media?

1) Social Media- adalah satu tempat atau wahana, dimana orang-orang berkumpul, bisa berasal dari dari satu komunitas tertentu,  beberapa kelompok orang dari berbagai wilayah, bahkan jutaan orang dari berbagai penjuru dunia. Dan di saat sejumlah orang berkumpul dalam satu tempat, misalnya di Pekan Raya Jakarta, apa yang akan terjadi jika kemudian kita membagikan produk secara gratis, misalnya beberapa paket ayam goreng Qriuuuk Fried Chicken (QFC). Maukah anda menerimanya? Saya rasa anda 
tidak akan menolaknya. 

Dan social media di Internet- adalah satu platform dimana semua orang berkumpul, berhubungan dan berkomunikasi, tempat jutaan orang berdiskusi tentang segala hal, mulai dari hobi, destinasi wisata, kuliner makanan, fashion maupun hal apapun lainnya. Ada beberapa komunitas sosial media saat ini, tapi yang sekarang sedang menonjol adalah berbagai blogs, Facebook, Twitter, LinkedIn, situs baru Genoom, dan satu lagi yang sedang dikembangkan oleh raksasa Internet Google, yaitu Buzz. Sebagai contoh, 

Facebook sendiri saat ini terus berkembang dengan percepatan sekitar 600,000 pengguna baru setiap harinya. 

2) Social Media Marketing- benar-benar telah terwujud menjadi satu metode pemasaran dengan kekuatan yang luar biasa. Disana semua orang berbicara tentang anda, produk anda, pelayanan anda dan perusahaan anda pada situs-situs sosial media semacam Facebook. Komunitas sosial media benar-benar menjadi tempat pembibitan bagi interaksi pemasaran yang saling menguatkan dan semakin intens. Satu diantara pilihan yang anda miliki adalah ikutlah menjadi bagian dalam topik pembicaraan yang sedang hangat ini atau tidak.

3) Dengan demikian, bentuk jalur hubungan konsumen dengan produsen atau pemasar, bentangannya menjadi lebih pendek, dan kepercayaan pada periklanan atau advertising tradisional, semakin lama semakin terkikis. Coba kita lihat ini,. Kita tentu lebih percaya pada saran teman-teman ngobrol kita tentang suatu produk, daripada percaya pada orang-orang berpenampilan manis yang menyampaikan pada kita di televisi. Ketika memasarkan bisnis anda, Anda dapat juga menggunakan pertemanan semacam itu, atau anda dapat juga menggunakan pembawa pesan suara dan gambar di tv yang semakin diabaikan. Senyampang kita bisa bekerja dengan setiap klien dalam situasi-situasi relasi yang khusus, unik, kita juga dapat menawarkan beberapa set paket sosial media marketing tertentu, sesuai dengan kebutuhan  atau permintaan klien.

4) Satu hal yang paling urgen adalah, periklanan tradisional melalui televisi dan koran/majalah saat ini sudah sedemikian mahal, sehingga selain tingkat kepercayaan klien yang sudah jauh menurun, kelemahan lain yang pasti adalah meningkatkan beban biaya pada produk yang akan kita jual, dan itu berarti juga menurunnya daya saing dan keuntungan bisnis kita. Dengan sosial media marketing, semua beban yang tidak perlu bisa dipangkas habis. Kunci suksesnya adalah, selain keunggulan dan keunikan produk, bagaimana kita memberikan kesempatan relasi-relasi kita untuk percaya, dan kemudian agar teman-teman komunitas sosial media kita juga antusias ikut memasarkannya? (atau secara otomatis menjadi pemasarnya dengan 'word of mouth' mereka, suatu testimoni sebagai hasil dari pembuktian positif mereka)?

Terdapat beberapa perbedaan konsep yang jelas antara Marketing Traditional dengan Social Media Marketing;

Pada model Pemasaran Tradisional- para Pemasar Tradisional selalu berusaha untuk mendominasi pasar secara massif dengan berbagai upaya advertising atau promosi yang gencar, dimana mereka selalu berusaha mendominasi para klien dengan informasi sepihak, baik dibutuhkan ataupun tidak. Mereka Selalu meneriakkan tentang keunggulan produk mereka, dengan harapan ini akan mempengaruhi calon konsumen. Mereka juga selalu berbicara tentang 'kami', keunggulan kami, produk kami, pelayanan kami dan lain-lain. Selalu menjejalkan info produk maupun pelayanan pada semua orang, dan berusaha mengendalikan seluruh pasar. Sisi pandang mereka memandang calon konsumen lebih sebagai 'leads', -ikutan.

Sedang pada Pemasaran Media Sosial- kita mengambil ceruk pasar tertentu dengan menciptakan komunitas media sosial di dalam pasar tersebut. Disitu kita mencoba mendengar apapun opini dari anggota komunitas yang merupakan calon konsumen kita, kemudian kita kenalkan produk kita dengan samar-samar/tidak memaksakan. Kita informasikan sebagai satu hal yang paling 
sesuai, paling pas dan baik untuk 'kita', 'kita' dan 'kita'. Kita tarik minat orang-orang dengan suatu pesan atau cerita yang relevan. Dengan demikian pemasaran ini lebih menekankan 'Words of Mouth', dibanding dengan metode periklanan umum. dan kita menempatkan calon konsumen dalam pola hubungan yang bersifat kemitraan, sejajar, saling menguntungkan.

Social Media Marketing Plus Infaq

Selanjutnya, ada satu kekuatan yang lebih real dan 'sunnatullah' yang mampu mendorong pemasaran 'word of mouth', dan sifat bisnis kemitraan kita bisa berkembang lebih hebat dan lebih cepat lagi, yaitu dengan memasukkan konsep Islam yaitu Infaq ke dalam sistem marketing kita. 

Infaq, sedekah, hadiah, saya lebih suka menggunakan istilah 'saling berbagi'. Saling berbagi ini tidak beroperasi sepihak atau terbatas pada memberikan sebagian harta, tapi bisa lebih luas, kita bisa saling berbagi ilmu, pengetahuan, akses pertemanan baik, termasuk berbagi testimoni dan positif word of mouth terhadap suatu yang menurut kita baik. (Jadi beda dengan menggunjing yaa..:-) . Beberapa perusahaan besar di era internet ini juga menerapkan konsep 'saling berbagi'. Lihat Google, menjadi raksasa bisnis, dimulai dengan pelayanan gratis yang diberikannya berupa kemudahan pada orang-orang yang ingin mencari situs-situs yang ada di internet. begitu juga Twitter, Facebook, Genoom, yang memberi fasilitas pada para pengguna untuk secara gratis memanfaatkan situs mereka untuk menjalin pertemanan dan bertukar informasi.

Case Study, 

Baru-baru ini, di Twitter sempat dikabarkan bahwa kata 'Panasonic' dan 'Gobel' sempat 'trending' atau menjadi pembicaraan ramai (banyak di tweet/dikicaukan ulang) oleh para penggunanya. Apa sebabnya? Ternyata ini terjadi bukan karena perusahaan elektronik Panasonic mengiklankan diri secara masif lewat media periklanan umum. Tapi trending ini tercipta karena peran Panasonic yang menggunakan konsep 'saling berbagi' dengan menjadi donatur utama, pada ajang pemilihan artis berbakat pada satu saluran televisi swasta yang dinamai Panasonic Awards. Secara bisnis, trending ini -yang sebenarnya tercipta tanpa dirancang sebelumnya,- tentu 
sangat mendongkrak citra dan pemasaran Panasonic atau Gobel itu sendiri.

Satu contoh lain yang lebih menarik dan berdampak luar biasa pada peningkatan pemasaran produk adalah apa yang dilakukan oleh sekelompok volunteer muda lulusan dari beberapa Perguruan Tinggi Indonesia dengan berbagai latar belakang akademis, yang membentuk Komunitas Pecinta Anak Yatim (PAY). Ketika mereka dengan ikhlas berbagi untuk anak-anak yatim binaan mereka, kemudian kisah perjuangan mereka dibisikkan ke teman-teman komunitas facebook mereka, maka secara spontan, -luar biasa- respon dari para koleganya, termasuk dari beberapa orang asing yang kemudian mendaftar sebagai donatur tetapnya. 

The Power of Infaq Social Media. 

Dan keberhasilan metode 'saling berbagi' ini tidak berhenti sampai disini saja. Salah satu donatur tetap PAY adalah QFC (Qriuuuk Fried Chicken) yang sebenarnya masih baru dalam dunia bisnis ayam goreng ini. Namun dengan menerapkan konsep 'saling berbagi', kemudian mendaftar sebagai donatur tetap PAY. 

QFC memiliki motto yang sangat bagus; 'Nikmatnya Beramal', dan memajang logo PAY di karton packing ayam gorengnya. Jadi, pesan yang dibisikkan adalah, buat anda yang membeli QFC, selain masakan ayam gorengnya lezat, anda juga ikut berperan menyumbangkan amal buat anak yatim. Sungguh, indahnya kebersamaan...



Disisi lain, menurut Abdul Aziz, sarjana Ekonomi lulusan Undip yang merupakan salah seorang penggagas konsep ini, dengan metode pemasaran kemitraan ternyata effek positifnya luar biasa. PAY, yang melalui Facebook selalu mengupdate informasi tentang bantuan yang mereka terima, termasuk tentu saja yang secara rutin didapatkan dari QFC, akhirnya ikut 
mempopulerkan nama QFC, yang berkahnya semakin banyak mendapatkan pelanggan tanpa harus beriklan! Inilah wujud simbisose mutualisma yang sebenarnya. 

So, mulailah bisnis anda dengan konsep Social Media Marketing Plus Infaq.

Create Your Infaq Based Bussiness That NiceTuYu.

Salam.

Tuesday, March 30, 2010

Let's Save Our Children


UNICEF's "State of the World's Children 2008" report put the fact about what's really our children around the world have their live:

Two thirds of child deaths that occured last year were due to entirely preventable causes.

Each year, an estimated 2 million children under the age of five worldwide die from diarrhea.  An estimated 88 percent of these deaths come from living in poverty.

In developing countries, 1 in 5 people don't have access to clean water, and roughly half are without adequate sanitation.

Between 250,000 and 500,000 children are blinded each year because thay don't get enough Vitamin A, which only costs pennies for a doze.

Thirty percent of children in developing countries do not attend school.

An estimated 246 million children between the ages of five and 17 are engaged in children labor.

Of these, nearly 70 percent or 171 million children are working in hazardous situations or conditions, such as in mines, with agricultural chemicals and pesticides, or with dangerous machinery.

Some 73 million of them are under 10 year old.

Wednesday, March 24, 2010

Nilai-Nilai Edukasi Dalam Puisi Jalaluddin Rumi

Fanatisme cinta berbeda dengan agama lain
Fanatisme cinta adalah terhadap Yang Maha Cinta
Tujuan pecinta bukan seperti tujuan lain
Cinta adalah kompas langit menuju misteri Tuhan
—Jalaluddin Rumi—

Banyak yang menganggap sumbangan terbesar Jalaluddin Rumi pada agama adalah aliran sufi Mawlawiyah dan tarian berputar seperti gasing (raqs sama’). Sesungguhnya, aliran Rumi jauh lebih agung dari itu semua. Sumbangan terbesar Rumi  terhadap Islam dan agama bukan terletak pada Tarekat Mawlawi, tarian raqs sama’, ataupun dzikir dengan diiringi musik (sama’). Bahkan, Rumi tidak pernah mengkotakkan cara beragama dalam tarekat tertentu. Baginya, kita tak membutuhkan ashabiyah (fanatisme kelompok), karena agama seluas cinta, dan hanya agamalah yang dapat membawa kita kepada Tuhan.

Mengenal Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi lahir di Balkh, Afganistan pada 604 H atau 30 September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi adalah karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai Rum (Roma)—Rumi adalah panggilan untuk orang Romawi.

Ayah Jalaluddin Rumi bernama Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, seorang ulama besar bermazhab Hanafi. Karena kharismanya yang tinggi dan penguasaan agamanya yang berlebih, maka ia mendapat gelar “Sulthanul Ulama.” Namun, karena gelar itu, sebagian besar ulama iri kepadanya. Banyak yang menfitnah dirinya. Celakanya, penguasa pada saat itu terpengaruh oleh hasutan masyarakat. Akhirnya, Bahauddin dan keluarganya diusir dari Balkh, ketika usia Rumi baru lima tahun.

Sejak pengusiran itu, Bahauddin bersama dengan keluarganya selalu berpindah-pindah tempat. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran Timur laut). Dari Sinabur berpindah ke Bagdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran Tenggara) dan terakhir tinggal di Konya (Turki). Di Konya, Bahauddin mulai mendapat tempat dan sambutan yang layak. Oleh Raja Konya, Alauddin Kaiqubad, ayah Rumi diangkat menjadi penasehatnya. Alauddin Kaiqubad mengangkatnya sebagai seorang pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di kota tersebut.

Dalam perjalan hidup Bahauddin yang nomaden tersebut, ia bertemu dengan Fariduddin Atthar, salah seorang ulama dan tokoh sufi. Ia meramal Rumi, yang ketika itu berusia lima tahun, kelak akan menjadi seorang tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, bahwa ramalan Fariduddin tidaklah meleset.

Rumi banyak mendapat pelajaran dari ayahnya. Selain berguru pada sang ayah, Rumi juga berguru kepada Bahauddin Muhaqqiq at-Thurmudzi, sahabat sekaligus pemimpin pengganti ayahnya di perguruan agama. Atas saran gurunya, Rumi menimba ilmu di Syam (Suriah). Beliau baru pulang ke Konya pada tahun 634 H, dan ikut mengajar di perguruan agama tersebut. Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau mulai usia 48 tahun, usia yang cukup tua untuk pencapaian tersebut. Sebelumnya, Rumi adalah ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid sebanyak 4000 orang.

Sebagaimana layaknya seorang ulama, beliau adalah orang yang selalu memberi fatwa kepada masyarakat yang bertanya dan mengadu kepadanya. Kehidupannya dari seorang ulama berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia bertemu dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi dari Kota Tabriz.

Pertemuan dengan Tabrizi

Ajaran Mawlana Rumi yang universal dan menembus batas-batas golongan ini adalah sebuah perlawanan terhadap semangat untuk menjadikan agama sebagai pembenaran terhadap penaklukan fanatisme golongan. Rumi ingin melawan keinginan para penguasa kekhalifahan Turki yang ingin melakukan ekspansi besar-besaran, demi terbentuknya kembali kerajaan besar setelah Bizantium musnah di negeri itu. Lewat tafsir cintanya, Rumi seakan menolak penggunaan agama sebagai alat untuk mengobarkan perang.

Ajaran Rumi tentang cinta dipengaruhi oleh pertemuannya dengan Syamsuddin Tabrizi, sang darwisy yang berkeliling Timur Tengah mencari “formula” yang tepat untuk menjadi insan kamil atau insan sempurna. Dialog antara Syamsuddin dengan Rumi layaknya dialog antara Khidir dengan Musa, ketika mengajarkan cinta. Pertemuan itu kemudian beliau tulis dalam sebuah kitab yang bernama Matsnawi, perjalanan Musa dan Khidir pun mendapat porsi besar dalam buku ini, terutama di bagian penutup. Kisah yang terangkum dalam Surat Kahfi itu memang banyak menarik perhatian para sufi. Kisah penuh misteri, yang mengajarkan orang untuk melihat kejadian bukan hanya pada apa yang tampak di depan mata.

Namun, pertemuan dengan Tabrizi tak berjalan lama, bahkan hanya sekejab saja, setelah semalaman berdiskusi dengannya. Paginya ditemukanlah Tabrizi tewas. Karena kecintaannnya kepada Tabrizi, maka ia membuat puisi untuk Tabrizi yang kemudian terkenal dengan ‘Diwan Syamsy Tabrizi’

Kenapa aku harus mencari?
Aku sama denganya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang ku cari adalah diriku sendiri

Inilah sepenggal puisi yang didedikasikan untuk Tabrizi, sang sahabat yang selalu mengilhami dan mengajarinya tentang indahnya cinta. Sepuluh tahun setelah peristiwa tewasnya Tabrizi, Rumi mulai untuk membuat puisi bernuansa ghazal (cinta), yang kemudian terkumpul rapi dalam Diwan al-Akbar (Diwan Agung). Kehilangan Tabrizi merupakan kehilangan yang sangat besar, bahkan Rumi menggambarkannya seperti kehidupan kehilangan mentari.
Kehilangan Tabrizi merupakan pukulan berat baginya, tetapi tak lama kemudian ia mendapat sosok sahabat baru yang telah mampu menggugah kesedihannya dan menggantikan posisi Tabrizi di sampingnya. Ialah Shalahudin.

Mengenal Hakikat Cinta Ilahi

Dalam bahasa Indonesia, kata cinta berarti “suka sekali”, “sayang benar”, “kasih sekali”, “terpikat”, “ingin sekali”, “berharap sekali atau susah” (khawatir). Menurut al-Qusyairi, kata cinta berarti: (1) nama bagi jenis cinta yang paling murni dan rasa kasih sayang; (2) Hubbah, adalah gelembung-gelembung yang terbentuk dari permukaan air ketika hujan besar, jadi cinta adalah penggelembungannya hati ketika ia haus dan berputus asa untuk bertemu dengan kekasihnya; (3) cinta disebut cinta karena orang mengatakan ahabba untuk mengambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit lagi. Dengan demikian, sang pecinta tidak akan menggerakkan hatinya menjauh dari mengingat kekasihnya.

Dalam tasawuf, cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Allah. Ini adalah cinta tertinggi. Cinta yang meliputi ilham, pancaran dan luapan-luapan hati, cinta dengan segala perasaan dan keberadaannya. Menurut Rumi, akal yang berusaha menjelaskan cinta itu sama halnya dengan keledai yang tidak punya daya, dan pena yang berusaha menggambarkan akan hancur berkeping-keping.

Cinta tidak dapat didefinisikan, dan hanya dapat dirasakan. Sedang menurut Ibnu Arabi, orang yang mendefinisikan cinta berarti tidak tahu tentang cinta, orang yang merasakan alirannya berarti ia tidak mengenalnya, dan orang yang mengatakan puas dengan cinta berarti ia tidak mengerti cinta, karena cinta adalah minum tetapi tidak pernah merasa puas.

Ajaran tasawuf berakar dari ajaran Islam tentang Ihsan. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf tidak terlepas dari moralitas. Meskipun ajaran yang dimunculkan oleh para sufi berbeda-beda, tetapi ada satu asas yang tidak dapat diperselisihkan, yaitu bahwa  tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam.

Moral yang dimaksud adalah moral yang baik. Dan manusia pada dasarnya mempunyai kecenderungan untuk berpihak pada yang baik. Moral (akhlak) sebenarnya merupakan oriental utama agama, sehingga ada yang menyebutkan bahwa agama adalah moral. Moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara dia dengan dirinya sendiri, antara dia dengan keluarganya dan antara dia dengan masyarakat.

Tasawuf dan Cinta

Cinta tak dapat ditemukan dalam belajar dan ilmu pengetahuan
Buku-buku dan lembaran-lembaran halaman.
Apa pun yang orang bicarakan itu—
Bukanlah jalan para pecinta
Apa pun yang engkau katakan atau dengar adalah kulitnya:
Intisari cinta adalah misteri yang tak dapat dibukakan.

Itulah sepenggal bait puisi Rumi, pujangga sufi yang paling terkenal dengan tema cinta dalam berbagai puisinya. Namun, banyak kalangan yang menyalahartikan arti cinta Rumi. Ada yang memposisikan puisi cintanya sebagai puisi cinta profan. Ada pula yang mengetahui bahwa puisi cinta itu ditujukan untuk Allah swt. Namun, tetap bahwa puisi cinta yang dicipta oleh Rumi bisa dianggap beda oleh para pembaca. Karena setiap pembaca mempunyai proses pencapaian cinta yang berbeda.

Gambaran cinta yang diungkap oleh Rumi adalah gambaran cinta pada umumnya. Maksudnya adalah ketika kita terlahir menjadi seorang bayi, maka bayi itu akan mengenal cinta dari orangtuanya. Kemudian bayi tersebut tumbuh menjadi besar. Dia pun mengenal cinta yang lainnya, misalkan cinta kepada sanak saudaranya. Tumbuh besar lagi, muncul yang namanya cinta dengan lawan jenis. Ia pun mengalami sebentuk cinta baru. Sampai pada satu titik tertentu, ia memutuskan untuk menikah. Maka cinta yang tumbuh dalam sebuah perkawinan akan beda dengan cinta yang tumbuh pada masa pacaran.

Bagaimana pun, cinta pada masa pertama perkawinan adalah sebuah cinta dengan unsur-unsur hasrat material (syahwat), misalnya cinta karena kecantikan atau ketampanan bahkan cinta pada keturunan atau keningratan seseorang. Dari proses perkawinan, kemudian lahirnya keturunan dari buah cinta mereka. Maka pasangan tersebut kembali mengenal sebuah cinta yang baru, cinta kepada darah dagingnya sendiri.

------

Dalam perjalan waktu, unsur-unsur yang membangkitkan hasrat material antara pasangan tersebut mulai menyusut. Pada saat itulah, dari kedua pasangan tersebut yang tersisa adalah kenangan-kenangan akan kebersamaan yang akan menghasilkan sebentuk cinta murni. Cinta yang tumbuh dari kesetiaan, perhatian dan kasih sayang, kesabaran serta ketabahan pasangan dalam menjalani segala permasalahan yang datang dalam kehidupan  mereka bersama. Cinta yang murni seperti itulah yang akan membantu seseorang dalam mengidentifikasi cinta kepada Tuhan.

Di sisi lain, cinta tanpa unsur-unsur hasrat material tersebut yang dapat membantu pencapaian cinta murni adalah cinta yang pertama kali dibangun melalui persahabatan dengan sesama jenis. Seperti persahabatan antara Rumi dengan Tabrizi, atau antara Socrates dengan Plato.

Cinta dan keindahan itu yang membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat yang lain. Sejumlah tarekat saat ini lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan paham tauhid baru. Penyatuan diri dengan Tuhan (Wihdatul Wujud) yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih oleh Rumi.

Pencapaian Cinta Ilahi

Jalan cinta yang dilakukan oleh Rumi pada dasarnya sama dengan tujuan ibadah para sufi lainnya, yaitu untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Guna mencapai kedekatan dengan Tuhan, para sufi harus menempuh jalan (thariqah) yang panjang dan penuh dengan duri dan berisi stasiun-stasiun (maqamat). Maqamat yang dimaksud adalah berupa peribadatan. Di samping istilah maqamat, dalam literatur tasawuf yang lain digunakan istilah hal. Hal  merupakan keadaan mental, seperti perasaan sedih, senang, takut dan sebagainya. Maqam diperoleh atas usaha manusia, sedangkan hal didapatkan sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Hal  bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.

Untuk mencapai puncak maqamat, maka jalan yang harus dilalui adalah dengan, taubat, zuhud, sabar, syukur, wara’ dan ridla. Urutan ini bukanlah urutan yang pasti, memang tak ada petunjuk dalam dunia tasawuf dalam menjalani rangkaian tersebut, mana yang lebih dahulu atau mana yang terakhir. Tetapi, dalam ajaran tasawuf, taubat  menduduki maqam  pertama, karena dosa itu dinding antara manusia dengan Tuhan. Orang yang mencari keridlaan Allah dan menuntut bimbingan harus bertaubat terlebih dahulu.

Zuhud  merupakan maqam terpenting bagi seorang calon sufi, seorang calon sufi haris menjadi seorang  zahid terlebih dahulu. Seorang sufi haruslah mampu mengalami kehidupan zuhud, yaitu menghindari kemewahan dunia dan hidup kematerian. Banyak pendapat berbeda mengenai zuhud, tetapi pada dasarnya zuhud diartikan sebagai tanggapan terhadap kemewahan dunia yang cenderung mengganggu manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Sabar  merupakan amalan atau sifat yang harus dimiliki oleh seorang sufi. Menurut Qusyairi, sabar ada dua macam: pertama, sabar terhadap apa yang diperoleh si hamba dengan upaya (melalui amal-amalnya). Sabar dalam hal ini ada dua, yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan Allah.
Kedua, sabar terhadap apa yang diperoleh tanpa upaya, yaitu sabar dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaan baginya. Dari kedua definisi sabar tersebut masih banyak definisi sabar yang diutarakan oleh para ahli, tetapi pada dasarnya semuanya sama karena sabar merupakan hal penting dan wajib dimiliki oleh seorang muslim jika ingin mendekatkan diri dengan Tuhannya.

Syukur  merupakan amalan yang saling melengkapi bagi sabar, yang sama menunjukkan sikap terhadap anugerah-anugerah Tuhan. Hakikat syukur adalah pengakuan akan anugerah dari sang Pemberi dengan sikap penuh kepasrahan.
Wara’ mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik dan dalam pengertian sufi adalah  meninggalkan segala sesuatu yang subhat (meragukan). Sedangkan, ridla adalah perasaan ikhlas, takut dan harap yang besar terhadap Allah atas semua apa yang telah kita kerjakan. “Allah ridla terhadap mereka dan mereka pun ridla kepada-Nya” (Q.s. al-Bayyinah: 8).

Begitulah prosesi jalan cinta yang ditempuh oleh Rumi. Selain, sebagai seorang hakim yang faham akan syari’at Rumi tidak hanya memuaskan dirinya dalam ritual yang kontroversial saja. Sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar (rebab) untuk mengiringi dzikir. Cara ini kemudian yang dikenal dengan Sama’  yang berarti mendengar. Dengan arti yang berbeda kemudian pesantren-pesantren di Jawa membudayakan dengan tradisi Sema’an.

Sama’: Warisan Agung Jalaluddin Rumi

Sama’  adalah sebuah tarian yang diikuti dengan suara biola atau alat-alat musik yang lainnya (yang sering digunakan adalah seruling yang terbuat dari kayu). Rumi mengatakan, bahwa tarian ini adalah sebuah bentuk dialog dengan Tuhan. Musik Sama’  ini merupakan bagian shalawat atas baginda Nabi Muhammad dan merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuannya.

Rumi mengatakan, musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama’ adalah adalah seperti elektron yang mengelilingi, intinya thawaf menuju sang pencipta. Semasa hidupnya tarian Sama’ sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama dengan para darwis selepas shalat Isya sering melakukan tarian tersebut. Tarian Sama’ ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet. Setelah Rumi wafat, maka tarian ini diperuntukkan sebagai peringatan kematian Rumi.

Tarian ini bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup seruling kayu, kemudian para penari mengenakan pakaian putih yang merupakan simbol kain kafan, dan jubah hitam sebagai penggambaran dari alam kubur, sedang topi panjang merah atau abu-abu adalah simbol dari batu nisan. Akhirnya, seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para darwis yang lain. Mereka kemudian membalas menghormati. Ketika Syaikh duduk di karpet merah menyala itu merupakan simbol matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi meninggal dunia.

Peniup seruling dan penabuh memulai musiknya maka para darwis akan memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakan simbolisasi  bagi tiga tahapan manusia menemi Tuhannya. Pada putaran ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbolkan kuburan untuk mengalami ‘mati sebelum mati’ kelahiran kedua.

Ketika Syaikh mengijinkan para penari untuk menari, maka mereka akan memulai dengan gerakan perlahan seperti putaran thawaf  dan putaran-putaran planet yang mengelilingi matahari. Ketika tarian hampir usai, maka Syaikh akan berdiri dan alunan musik akan dipercepat. Proses ini berakhir dengan musik penutup dan pembacaan ayat suci al-Qur’an.

Akhir Hidup Jalaluddin Rumi

Semua manusia pasti akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan yang besar ketika mendengar Rumi sedang sakit. Meskipun Rumi sakit keras, tetapi pikirannya masih menunjukkan kejernihan.

Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil oleh Allah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya, malam wafatnya beliau dikenal sebagai Sebul Arus (malam penyatuan). Sampai sekarang para pengikut Thariqat Mawlawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.

(Disalin dari hadlarah www.suara-muhammadiyah.com, edisi Nov 2009, tulisan : Ade Benih Nirwana, S.S, M.S.I) ________________________________________________
Penulis adalah Anggota Departemen Komunikasi dan Informasi PW Nasyi’atul ‘Aisyiyah DIY
Categories : NOV 2009 | SM 21-09

Tuesday, March 23, 2010

Suatu Pagi Di Kotabaru Jogjakarta, Dan Kisah Tentang Kepahlawanan


Hari itu, Senin Legi, 15 Syawwal 1430, atau 5 Oktober 2009, menjelang jam 09.00 pagi, sambil sarapan pagi di warung Soto Pak Soleh, pojok barat daya halaman parkir Stadion Kridosono, Kotabaru, bersama seorang teman, kami ngobrol ngalor-ngidul sekedar membuka kenangan masa muda ketika kami bersekolah di Jogja beberapa tahun silam.

Sembari menyantap hidangan, kami berbincang tentang situasi kota Jogja, terutama di kawasan Kotabaru ini, satu wilayah yang tidak terlalu luas, dekat Stasiun Sepur Lempuyangan, memiliki beberapa ruas jalan yang pusat temunya berupa jalan melingkar mengitari stadion.

Satu ruas jalan utamanya cukup lebar berkelok indah, turun dan naik melandai, yang menghubungkan jalan raya ke Solo dengan kawasan Malioboro. Melintasi dua jembatan, satu yang di bawah jembatan lawas dari beton, dan melintang di atas jembatan rel kereta besi, di antara dua tepian sungai, Kali Code, yang tidak terlalu deras mengalir di tengah lembah yang dalam dan lebar.

Lembah ini, yang sekarang tebing-tebingnya penuh sesak oleh penghuni, semasa hidup arsitek YB. Mangunwijaya, pernah menjadi sarana ekspresi jiwa seni yang sungguh fenomenal, dia tata daerah kumuh itu dengan aneka bangunan sederhana fungsional, terbuat dari batu dan bambu untuk rumah tinggal dan sarana sosial. Solusi yang cerdas dan manis ditengah lingkungan yang tragis.

Kontras dengan suasana Kotabaru, tempat hunian para borjuis dan eksklusif pada masa penjajahan Belanda dulu, indah nyaman suasananya, namun bukan karena ihwal ini yang menyebabkannya jadi pantas untuk dikenang dan dikunjungi, tapi lebih karena di sini menyimpan banyak catatan sejarah penting dari Kota Jogja yang sampai sekarang masih tampak terawat rapi, monumen sejarah Jogja modern (bukan zaman Mataram), sesuai namanya, Kotabaru.

Kami pernah mendengar berbagai cerita per-tetangga-an yang harmonis maupun ironis, tentang rumah-rumah kuno peninggalan pejabat Belanda, dentang lonceng dari atap Gereja, yang kadang bersautan dengan merdunya adzan dari Masjid Syuhada, yang dibangun berdekatan, dan dinamai demikian untuk mengenang para Syuhada Kotabaru. Masjid ini juga unik, karena punya kembaran arsitekturnya di Jakarta, di kompleks Yayasan Al azhar milik Almarhum Buya HAMKA. Di Masjid Syuhada ini pula, dulu kami sering Jum'atan, berdiskusi, dan mengaji dalam Kuliah Shubuh, Ramadhan dan Tiap Ahad pagi.

Catatan sejarah tentang keberanian, Sajaa'a...

Di ujung persimpangan jalan depan warung dekat kami duduk mencangkung, sudut mata kami terpaku pada satu papan jalan kecil, dimana tertera satu nama, Jl. Abu Bakar Ali, di dekatnya ada Jl. Faridan M. Noto, dua diantara beberapa nama jalan di daerah ini yang mengambil nama-nama dari para pejuang muda Jogja yang gugur dalam perjuangan membela negara, merebut kembali kawasan Kotabaru agar kembali utuh menjadi wilayah kedaulatan Negara Indonesia.

Saya jadi teringat ayahanda, almarhum Soedja'i Siswowardojo, Alhaj, pernah berkisah tentang nama-nama dan tempat-tempat bersejarah di kawasan ini. Walau tak tercatat dalam sejarah, almarhum ayah saya pernah memiliki sedikit peran, satu bagian kecil dari fragmen perjalanan sejarah panjang Kotabaru, bersama dengan beberapa tokoh yang tertera di papan-papan nama jalan itu, disamping tokoh-tokoh lain yang selamat, saat -saat pengorbanan mereka merebut Kotabaru dari para tentara pendudukan Jepang saat itu.

"Tentang nama-nama jalan itu..." Saya mulai bercerita pada sahabat yang duduk di bangku di hadapanku, Bambang P. Sutikno, "seandainya ayah saya dulu ikut meninggal disini, mungkin namanya akan abadi di salah satu ruas jalan ini" sambungku.

Kenapa bisa begitu? Ya, karena pada tahun sekitar 1945-an, ketika terjadi peristiwa perebutan atau pengalihan kekuasaan dari penjajah -bangsa Jepang- ke rakyat Indonesia, dimana saat itu pasukan Jepang, yang masih menguasai dan mendiami kawasan Kotabaru (yang dijadikan sebagai markas mereka setelah ditinggalkan oleh Belanda), maka tatkala Indonesia memutuskan merdeka dari penjajahan, pasukan Jepang di kota ini belum jua bersedia menyerahkan kekuasaan mereka.

Bangkitlah ghirah warga relawan pejuang Jogja, terutama para pemuda yang tergabung dalam pasukan Tentara Pelajar yang akhirnya menyerbu markas Jepang tersebut. Dan ayahanda, bersama teman-teman sekolah beliau dari Asrama putera Mu'allimin Muhammadiyah Jogjakarta, ikut serta dalam aksi tersebut. Dan saat itu, ayah saya masih berusia sekitar 13-15 tahun, termasuk paling kecil diantara kolega-kolega beliau.

Tak terbendung, anganku melambung terbawa suasana dan ritme perjalanan masa lalu ayahanda. Saya bayangkan, seandainya saat itu ayah saya ikut gugur disini, perjuangan dan kepahlawanannya akan tercatat abadi di jalan-jalan ini, yang mana mungkin akan menjadi satu kebanggaan tersendiri, demikian pikiran ini menyeruak dalam hati. Tapi, seandainya itu terjadi, tentu saja saat ini saya mungkin -tidak- sedang ada di kotabaru ini, disini, bahkan mungkin tidak juga terlahir ke dunia, karena ayah saya saat itu masih sangat muda, belum menikah apalagi punya putera.

.....

Angan-anganku kemudian melompat kembali, ke satu masa yang lebih kini, dimana masa pergolakan sudah usai, dan ayahanda bisa kembali ke bangku sekolahnya. Beliau seorang yang sangat cerdas, kuat ingatan, dan tekun belajarnya, serta teguh dalam ibadah. Jika saja kemudian, ayahanda tidak memutuskan kembali pulang ke Banjarnegara, memenuhi tanggungjawab sebagai anak lelaki tertua dari sembilan besaudara, untuk menemani ibunda beliau (nenek kami) yang tiba-tiba harus menjanda, karena kakek kami, Mohammad Sayidi, yang gagah berani dan serba bisa, seorang Lurah, pandai menjahit, berkarya seni kayu dan bertani, Ustadz dan pembimbing ummat di kampung Danakerta dan sekitar Punggelan, yang wafat akibat sakit mendadak di usia masih sangat muda, sekitar 40-an tahun. Beliau Syahid, karena meninggal keracunan, akibat dari, ketegasannya, dan sedang dalam perjuangannya menegakkan keadilan di antara rakyatnya.

Bagi ayahanda, kembali pulang ke kampung miskin terbelakang sungguh satu pilihan hidup yang berat dan menantang, tapi penuh kepahlawanan. Jika saat itu ayahanda meneruskan karir setelah sekolah beliau dan tetap di kota, menilik dari keteguhan, kecerdasan dan konsistennya beliau dalam jalan dakwah bersama Muhammadiyah, di Jogja mungkin juga ayah sudah menjadi tokoh Pusat yang penting dan berpengaruh.

Atau juga ketika beliau mendapatkan tawaran beasiswa untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, setelah lulus dari Sekolah Guru SGB Magelang, beliau terpaksa menolak kesempatan emas ini karena sang ibunda yang bersahaja dan hidup sengsara mencegahnya dengan satu kalimat, " Ya silakan, kalau kau ingin adik-adikmu hanya bisa hidup jadi pangon (gembala)..."

Tetapi kemudian kami tersadar dari angan-angan yang semakin liar, karena sandainya sejarah diputar ulang dengan sedikit saja perubahan pada beberapa simpul kisahnya, semua peristiwa bisa berubah sedemikian beda, dan kehidupan yang semacam ini tak kan ada.

Kami, dan anak-anak ayahanda, sebagai bagian lebih kecil dari simpul-simpul perjalanan sejarah ummat manusia, hanya bisa mencoba mengorek rahasia-rahasia nasib dan kearifan dari takdir ketentuan Keadilan Illahi, atas garis perjalanan satu individu maupun kelompok manusia, terutama di keluarga kami sendiri, anak cucu ayahanda tercinta.

Betapapun kami sadari, keberadaan seorang dalam perjalanan sejarah, walau tidak tercatat ataupun dikenal banyak orang, tetap punya makna dan keistimewaan tersendiri, dalam alur hidupnya sendiri, dan akan tergantung pada amal baik dan pengabdian yang dilakukannnya secara ikhlas, tulus serta sungguh-sungguh terhadap amanah dan kewajiban hidupnya, pada Sang Khaliq-nya.

Jiwa Syuhada dan Kepahlawanan beliau-beliau tidak akan pernah mati, benih-buah spiritual dari kebajikan para martir akan tumbuh menjadi tunas-tunas baru yang unggul dan pasti. Dan berkembang subur pada jiwa pewarisnya, menjadi kekuatan bagi siapapun yang mau menerima, mengenang dan meneladaninya...

Kerjakan apa yang menjadi tugas kemanusiaan kita sebaik-baiknya, dan Tuhan pun akan mengerjakan apa yang menjadi TugasNya lebih baik lagi...

(Farid Masjhudi, Raudha Center, Barackville, Selasa Pon 16 Maret 2010, 30 Maulid 1431.)